Tantangan Perusahaan Fintech yang Akan IPO di Bursa Saham

Tantangan Perusahaan Fintech
Tantangan Perusahaan Fintech yang Akan IPO di Bursa Saham. Photo by @markuswinkler
Waktu baca: 2 menit

Perusahaan financial technology (fintech) di Indonesia saat ini terus mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu terbukti dengan melonjaknya transaksi di masa pandemi corona. Dari hal itu, komisaris Bursa Efek Indonesia, Pandu Sjahrir, mengatakan bahwa perusahaan fintech berpeluang besar mencatatkan saham perdana atau biasa disebut dengan IPO. Meski begitu, tantangan perusahaan fintech yang akan IPO juga cukup besar.

“Kami melihat, pertumbuhan fintech pesat. Investor melihat pertumbuhan fintech yang besar,” kata Pandu dalam acara Fintech Talk, Rabu (31/3) yang dilansir dari Katadata.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), transaksi uang elektronik melonjak saat pandemi Covid-19. Pada 2018, nilainya hanya Rp 33,67 triliun. Kemudian naik menjadi Rp 145,1 triliun pada 2019, dan mencapai Rp 144,6 triliun selama Januari-September 2020.

Seiring peningkatan transaksi itu, Pandu menilai bahwa startup di sektor fintech berpeluang untuk IPO. Setidaknya untuk dua kategori yakni pembayaran dan pembiayaan (lending). “Sekarang kepercayaan masyarakat terhadap pembayaran online sudah tinggi. Ada OVO, DANA, GoPay dan lainnya,” ujar Pandu. Selain itu, “masyarakat Indonesia masih banyak yang belum tersentuh layanan perbankan. Maka fintech lending akan cepat tumbuh.” Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran pinjaman oleh fintech lending di Indonesia mencapai Rp 169,5 triliun per Februari. Tercatat ada 49 juta rekening peminjam (borrower) dan 594.257 pemberi pinjaman (lender).

Baca juga: AFPI dan OJK Perangi Fintech Ilegai di Indonesia

Tantangan Perusahaan Fintech saat IPO

Meski begitu, ada beberapa tantangan bagi fintech di Indonesia untuk IPO yakni profitabilitas, struktur saham, dan infrastruktur. Perusahaan harus mencatatkan laba apabila menyasar papan utama. Selain itu, harus memiliki aset berwujud bersih (net tangible assets) minimal Rp 100 miliar. Sedangkan startup rata-rata memiliki aset tidak berwujud (intangible assets). Kepala Unit Evaluasi dan Pemantauan BEI Hendra Ahmad Hidayat menyarankan fintech mencatatkan IPO di papan akselerasi. Sebab, perusahaan tidak perlu mencatatkan laba terlebih dahulu.

“Saat ini, startup seperti fintech belum mempunyai laba usaha. Di papan akselerasi, fintech boleh rugi. Asalkan selama enam tahun harus ada laba usaha,” katanya.

Untuk mendorong lebih banyak startup IPO, bursa juga membuat IDX Incubator. Ini merupakan ruang inkubasi khusus perusahaan skala kecil dan menengah agar menjadi emiten.

Tercatat ada 120 startup binaan yang masuk IDX Incubator. Sebanyak 55 di antaranya masuk program road-to-IPO. Lalu, tiga startup binaan sudah IPO. “Melalui IDX Incubator itu kami siapkan co-working space, memberi pelatihan, bertemu regulator dan program lainnya,” kata Hendra. Sejauh ini, ada beberapa startup yang sudah melantai di bursa saham. Mereka di antaranya Surge Digital Ecosystem, Cashlez, Yelooo Integra Datanet, Tourindo Guide Indonesia, M Cash Integrasi, Digital Mediatama Maxima, Distribusi Voucher Nusantara, Kioson Komersial Indonesia, NFC Indonesia, dan Telefast Indonesia.

Mungkin Anda juga menyukai