Status Kepemilikan Rumah atau Tanah yang Ada di Indonesia
Salah satu pondasi penting yang harus kamu perhatikan dengan sungguh-sungguh pada saat membeli produk properti adalah masalah legalitas. Kepemilikan rumah atau tanah harus telah jelas dari awal mula transaksi, demi menghindari munculnya masalah kelak di kemudian hari.
Demikian pula saat membeli produk properti lainnya, kamu harus paham bagaimana status legal yang dimilikinya. Supaya lebih paham dan tak lagi keliru, selengkapnya di bawah akan dibahas mengenai jenis status kepemilikan rumah dan jenis sertifikat rumah yang berlaku.
Jenis-jenis Status Kepemilikan Rumah
Secara umum terdapat 4 jenis surat kepemilikan rumah yang ada dan berlaku di tanah air. Status kepemilikan tersebut adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Status Rumah Susun.
1. Hak Milik
Status rumah yang paling kuat adalah rumah dengan predikat Hak Milik. Jenis status yang satu ini adalah sebuah hak primer perorangan yang paling kuat yang bersifat perdata. Hak milik ini tidak memiliki batas waktu dan dapat dimiliki secara turun temurun.
Khusus pada jenis properti yang berbentuk tanah, di atasnya dimungkinkan terdapat hak sekunder yang merupakan tingkatan status yang lebih rendah. Jenisnya berupa Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Sewa dan Hak Numpang Karang.
Rumah atau tanah yang berstatus Hak Milik akan mempunyai sertifikat sebagai bukti kepemilikannya. Sertifikat tersebut bernama SHM atau Sertifikat Hak Milik. Sertifikat SHM ini dapat dipindah tangan lewat mekanisme jual beli.
Nantinya peristiwa jual beli ini akan selalu tercatat pada lembar di dalam Sertifikat Hak Milik tersebut. Sebagai salah satu bentuk surat berharga, Sertifikat Hak Milik bisa menjadi sebuah sarana pembiayaan ketika dijadikan sebagai aset agunan atau jaminan utang.
Baca juga: Keuntungan dan Syarat Gadai Sertifikat Rumah di Pegadaian
2. Hak Guna Bangunan
Status kepemilikan rumah yang kedua adalah Hak Guna Bangunan atau HGB. Hak ini adalah hak bagi seorang warga negara atau badan hukum guna mendirikan suatu bangunan pada sebidang tanah. Dimana tanah ini bukan milik dari warga negara atau badan hukum tersebut.
a. Masa Berlaku Hak Guna Bangunan
Jangka waktu atau periode Hak Guna Bangunan paling lama adalah 30 tahun. Akan tetapi Hak Guna Bangunan ini bisa dilakukan perpanjangan lagi hingga selama 20 tahun ke depan.
Nantinya setelah lewat masa perpanjangan dari Hak Guna Bangunan, pihak pengguna hak dapat mengajukan pembaharuan lagi selama 30 tahun. Sifat kepemilikan dari Hak Guna Bangunan ini transferable artinya HGB ini bisa dilakukan pemindahtanganan.
Sebagai bukti atas kepemilikan Hak Guna Bangunan, maka negara menerbitkan sertifikat yang bernama SHBG atau Sertifikat Hak Guna Bangunan. Sertifikat ini hanya dapat diberikan kepada seorang Warga Negara Indonesia.
Namun bisa juga sebuah perusahaan memiliki sertifikat HGB asal memenuhi dua syarat utamanya. Dua syarat tersebut adalah:
- Perusahaan didirikan dengan berasaskan hukum positif di Indonesia.
- Perusahaan yang bersangkutan memiliki domisili di Indonesia.
b. Peningkatan Status Hak Guna Bangunan
Sebuah lahan yang memiliki status Hak Guna Bangunan dengan sertifikat SHGB bisa mendapatkan peningkatan status untuk menjadi Hak Milik. Tentu saja proses peningkatan tersebut baru dapat terealisasi jika telah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Hal umum yang biasanya membuat terjadi peningkatan status dari Hak Guna Bangunan ke Hak Milik adalah berdirinya bangunan pada tanah tersebut. Misalnya telah berdiri sebuah rumah tinggal pada sebidang tanah dengan status HGB.
Yang mana terdapatnya bangunan yang pemanfaatannya sebagai hunian atau tempat tinggal pada lahan tersebut memang menjadi syarat. Yaitu agar statusnya dapat dilakukan peningkatan agar menjadi Hak Milik yang nantinya bukti kepemilikannya diperkuat dengan SHM.
Prosedur peningkatan status HGB ke Hak Milik ini melalui cara dengan melakukan proses pendaftaran untuk peningkatan hak. Syarat dan ketentuan utama yang harus kamu penuhi selaku pemohon adalah memiliki surat IMB atau Izin Mendirikan Bangunan.
Untuk melakukan peningkatan status kepemilikan tersebut kamu dapat melakukannya secara mandiri. Atau memakai jasa perwakilan dari Pejabat PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang akan melakukan proses pengurusannya ke Badan Pertanahan Nasional.
3. Hak Pakai
Status kepemilikan rumah dan tanah selanjutnya adalah Hak Pakai. Secara umum Hak Pakai ini sebenarnya mirip dengan detail dari Hak Guna Bangunan. Hanya saja perbedaan mendasar yang terdapat diantara keduanya adalah subyek dari pemegang kedua hak tersebut.
Jika pada Hak Guna Bangunan, pemegang hak haruslah merupakan perorangan yang menjadi Warga Negara Indonesia. Atau sebuah perusahaan berbadan hukum yang tunduk pada hukum di Indonesia serta memiliki domisili di Indonesia.
Nah pada Hak Pakai, subyek pemegang hak adalah Warga Negara Asing atau WNA. Yaitu baik yang berbentuk perorangan atau individu maupun perusahaan atau badan hukum.
Sesuai namanya, nantinya pemegang Hak Pakai akan dapat memakai dan mengambil hasil atau hanya salah satu keadaan saja (mengambil/memakai). Yaitu atas suatu produk yang merupakan hasil dari sebidang tanah yang statusnya bukanlah hak miliknya.
Tanah yang dapat digunakan sebagai Hak Pakai ini dapat milik perorangan, negara atau milik suatu badan usaha. Jangka waktu sebuah Hak Pakai adalah paling lama 25 tahun yang dapat dilakukan perpanjangan hingga 20 tahun ke depan.
Setelah masa Hak Pakai perpanjangan selesai, tetap dapat dilakukan pembaharuan dengan kurun waktu 25 tahun lagi.
4. Hak Satuan Rumah Susun
Status kepemilikan rumah yang keempat adalah Hak Satuan Rumah Susun. Yang mana bukti kepemilikannya berbentuk Sertifikat atau Surat Hak Satuan Rumah Susun.
Hak Satuan Rumah Susun ini adalah hak kepemilikan yang ada pada seseorang atas hunian yang berbentuk vertikal. Yaitu rumah susun atau bangunan apartemen yang berdiri pada sebidang tanah dengan status kepemilikan secara bersama.
Lantas Bagaimana dengan Status Petok/Girik?
Selain berbagai jenis Status kepemilikan rumah dan tanah sebagaimana uraian di atas, kamu pasti juga tak asing dengan istilah sertifikat Petok atau Girik.
Tak seperti anggapan awam, sejatinya Girik atau Petok bukanlah masuk dalam kategori sertifikat rumah. Mengapa? Karena rumah di atas lahan status Petok atau Girik belum secara resmi terdaftar secara hukum.
Oleh karena itu Petok atau Girik bukan sebuah sertifikat, namun hanyalah sebuah surat penguasaan atas suatu lahan. Biasanya Girik atau Petok ini berkaitan dengan tanah adat, yang mana dokumen ini konversi haknya belum didaftarkan ke negara.
Tanah berstatus Girik atau Petok dapat dipindahtangankan secara turun temurun. Umumnya tanah ini berupa tanah warisan. Proses peralihan hak Petok atau Girik ini biasanya akan dilakukan di hadapan kepala desa atau lurah sebagai saksi.
Untuk biaya pengurusan tanah berstatus Petok atau Girik ini bermacam-macam sesuai dengan kesepakatan dengan lurah atau kepala desa dari wilayah tersebut. Demikianlah uraian serta penjelasan mengenai jenis status kepemilikan rumah yang ada pada sistem pertanahan di tanah air.