Rohana, Rojali, dan Robeli: Tren Gaya Belanja Kekinian

Beberapa waktu belakangan ini pasti kamu sering mendengar istilah Rohana, Rojali, dan Robeli di media sosial, berita, atau bahkan obrolan sehari-hari di tongkrongan. Tiga kata hits ini viral karena adanya perubahan perilaku konsumen di Indonesia, khususnya di pusat perbelanjaan. Ketiganya mencerminkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat, serta bagaimana strategi bertahan dalam menghadapi tantangan ekonomi sedang dilakukan.
Apa Itu Rojali, Rohana, dan Robeli?
- Rojali singkatan dari “rombongan jarang beli”. Istilah ini merujuk pada kelompok masyarakat, yang umumnya anak muda, yang ramai berkunjung ke pusat perbelanjaan. Mereka cenderung hanya sekadar melihat-lihat atau berjalan-jalan, tanpa melakukan transaksi pembelian barang. Jadinya mal kelihatan ramai tapi omzet toko tidak meningkat.
- Rohana kependekan dari “rombongan hanya nanya”. Kelompok ini lebih spesifik karena datang ke mal, menanyakan detail produk, harga, promo atau diskon, tapi akhirnya tidak jadi beli apa – apa. Aktivitas ‘nanya doang’ menjadi ciri utama perilaku kelompok Rohana.
- Lalu ada Robeli, singkatan dari “rombongan benar-benar beli”. Rombongan kali ini berbeda dari dua sebelumnya, karena tidak hanya bertanya tapi benar – benar belanja. Munculnya Robeli jadi harapan agar industri ritel tidak cuma ramai dikunjungin tapi juga ramai menghasilkan uang.

Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Fenomena Rojali dan Rohana sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi intensitasnya meningkat beberapa waktu terakhir karena beberapa alasan:
- Melemahnya daya beli masyarakat: Harga barang yang terus naik sementara penghasilan stagnan, memaksa masyarakat lebih selektif dalam berbelanja. Banyak yang menahan belanja kecuali untuk kebutuhan pokok.
- Kebiasaan berbelanja online: Banyak dari kita yang kini cenderung mencari harga lebih murah secara daring (online). Alhasil, Mal menjadi tempat untuk melihat-lihat barang atau window shopping dan berkumpul (hangout), sedangkan pembelian utamanya dilakukan melalui e-commerce. Jadi, mal bukan lagi tempat belanja utama, melainkan tempat bersosialisasi.
- Kelas menengah ke bawah makin ketat ekonomi: Mayoritas pengunjung mal di Indonesia berasal dari kelas menengah ke bawah yang kini terkena dampak tekanan ekonomi. Mereka lebih memilih kebutuhan pokok, murah, dan gampang didapatkan.
- Makan dan nongkrong di mal tetap menjadi favorit: Walaupun daya beli terhadap barang lain menurun, tapi makan dan minuman segar tetap banyak diminati. Bisa dibilang jadi hiburan murah untuk masyarakat.
Dampak terhadap sektor ritel dan ekonomi
Fenomena Rojali dan Rohana memiliki dampak nyata bagi pemilik toko dan pengelola mal:
- Omzet menurun walaupun pengunjung meningkat: Banyak toko dan mal yang kelihatan ramai pengunjung tapi tidak berbanding lurus dengan kenaikan penjualan. Kondisi ini yang membuah keungan toko menjadi kurang sehat.
- UMKM terkena imbasnya: Bisnis kecil yang mengandalkan pembelian langsung ikut terkena dampak, sehingga penghasilan menurun dan banyak yang mulai kewalahan.
- Pemerintah mulai bertindak: Beberapa pihak mengusulkan adanya stimulus atau insentif untuk meningkatkan daya beli masyarakat, seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau kebijakan fiskal lainnya.
Robeli hadir sebagai simbol kebangkitan konsumsi.
Robeli digadang-gadang akan menjadi sinyal positif yang mendominasi jika perekonomian nasional tumbuh dengan baik, lapangan pekerjaan bertambah, dan kelas menengah atas lebih memilih berbelanja di dalam negeri daripada di luar negeri. Namun, saat ini, Robeli masih didominasi oleh orang kaya, kelas menengah atas, dan turis mancanegara yang berbelanja dalam jumlah besar di pusat perbelanjaan premium.

Kesimpulan: Rohana dan Rojali adalah cerminan nyata perlambatan daya beli masyarakat Indonesia
Fenomena ini dipengaruhi oleh tekanan ekonomi serta pergeseran pola konsumsi masyarakat. Di tengah kondisi tersebut, munculnya istilah Robeli menjadi harapan akan pulihnya daya beli dan bangkitnya sektor ritel di masa mendatang. Sebagai konsumen yang cerdas, mari kita gunakan uang secara bijak, namun tetap mendukung produk lokal, agar dapat tumbuh bersama dan memperkuat perekonomian nasional. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah dan pelaku usaha untuk terus berinovasi, sehingga masyarakat dapat beralih dari sekadar “lihat-lihat” menjadi benar-benar “membeli”. Dengan demikian, kita dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih sehat dan inklusif.